Menu

Menu

Markplus Institute AI Implementation

Team MAIA

19 Mei 2025

Wawancara ini mengulas peran Mas Gio sebagai Product Manager di MarkPlus, khususnya dalam mengembangkan produk untuk segmen B2B dan B2C. Ia membagikan pandangannya tentang dampak AI terhadap dunia pendidikan, termasuk bagaimana AI mengubah metode pelatihan dan peran MarkPlus sebagai mitra diskusi, bukan sekadar penyedia ilmu.

Silahkan memperkenalkan diri terlebih dahulu tentang MarkPlus dan apa yang dilakukan Mas Gio di MarkPlus?

Halo, perkenalkan saya Giovanni, saat ini saya bekerja sebagai Product Manager di MarkPlus. Peran saya berfokus pada pengembangan produk, khususnya dalam menciptakan solusi pelatihan yang relevan bagi berbagai segmen pasar.

Di MarkPlus sendiri, ada dua divisi utama yang menangani program pelatihan, yaitu B2B dan B2C. Divisi B2B umumnya melayani perusahaan besar dengan program pelatihan yang bersifat lebih strategis dan jangka panjang, seperti Management Trainee (MT), Management Development Program (MDP), hingga pelatihan untuk persiapan kenaikan jabatan. Program-program ini biasanya dirancang secara khusus sesuai kebutuhan tiap perusahaan.

Sementara itu, saya lebih banyak terlibat di divisi B2C. Di sini, kami menyasar perusahaan kecil atau menengah yang jumlah karyawannya mungkin hanya sekitar 30 hingga 50 orang. Mereka biasanya belum memiliki kapasitas untuk membeli pelatihan yang sangat terpersonalisasi seperti di B2B. Oleh karena itu, kami hadir dengan pendekatan yang lebih general namun tetap relevan, agar pelatihan bisa diakses oleh lebih banyak pihak dan menjawab kebutuhan pasar yang lebih luas.

Secara garis besar, produk yang ditawarkan di B2B dan B2C memang mirip dari sisi konten, tetapi pendekatannya berbeda. B2B lebih bersifat tailor-made sesuai dengan karakteristik industrinya, sedangkan B2C lebih universal dan bisa diaplikasikan oleh berbagai jenis bisnis.

Tantangan apa yang dihadapi sebelum MarkPlus menggunakan AI? Dan apa peluang yang MarkPlus lihat dari adanya AI?

Sebelum mengadopsi AI, tantangan utama yang dihadapi MarkPlus adalah disrupsi besar yang terjadi di dunia pendidikan dan pelatihan. Dulu, keunggulan MarkPlus terletak pada kekayaan pengetahuan yang dimiliki, yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk buku-buku impor sejak era 90-an. Pengetahuan ini lalu disampaikan kepada peserta pelatihan, terutama karena saat itu akses terhadap literatur asing dan kemampuan bahasa Inggris di Indonesia masih terbatas.

Namun, seiring waktu, akses informasi menjadi lebih mudah. Orang kini bisa membeli e-book sendiri, memahami bahasa asing, bahkan menggali ilmu langsung dari berbagai sumber digital. Tantangan menjadi semakin besar dengan hadirnya AI, yang membuat siapa pun bisa dengan cepat mendapatkan informasi atau pengetahuan hanya dengan mengajukan pertanyaan. Akibatnya, kebutuhan akan pelatihan tradisional pun menurun karena peserta bisa langsung belajar dari AI.

Untuk itu, MarkPlus melakukan transformasi besar. Peran mereka tidak lagi sebagai penyedia ilmu, melainkan sebagai teman diskusi dan fasilitator berpikir. Mereka kini membantu peserta memahami bagaimana cara berpikir yang tepat, bukan sekadar memberikan data atau teori. Jika dulu pelatihan seperti design thinking bisa memakan waktu tiga hingga lima hari, kini dengan bantuan AI, pelatihan serupa bisa dilakukan hanya dalam dua jam karena proses pencarian data dan eksplorasi ide dipercepat oleh teknologi.

Di balik tantangan tersebut, ada peluang besar yang berhasil ditangkap. MarkPlus kini fokus pada mendampingi klien dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan strategis—termasuk melatih AI untuk berpikir dengan framework dan tools yang telah dikembangkan oleh MarkPlus selama bertahun-tahun. Dengan pendekatan ini, AI bukan hanya alat bantu pasif, tetapi bisa dikembangkan menjadi “konsultan digital” bagi perusahaan, yang mengandalkan pola pikir dan metode yang dirancang oleh MarkPlus.

Apakah ada spesifik teknologi AI yang digunakan di MarkPlus?

Oh, kalau sekarang kan ini, pakai, MAIA. AI nya dari MAIA yang akhirnya kita coba rebranding jadi Markplus AI. Dan dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan pelatihan dan pendekatan khas MarkPlus. Salah satu bentuk pemanfaatannya adalah dengan memasukkan prompt yang telah dikembangkan dari berbagai materi pelatihan internal MarkPlus, seperti design thinking, sehingga menghasilkan output yang lebih advance dan kontekstual.

Dalam praktiknya, pelatihan kini menjadi jauh lebih efisien. Peserta cukup mengetikkan perintah seperti “design thinking”, dan sistem akan langsung menyajikan materi dari A sampai Z yang relevan dengan topik tersebut. Ini berbeda dari pendekatan pelatihan lain yang masih sekadar membagikan prompt untuk kemudian disalin peserta. MarkPlus justru fokus pada mengapa dan bagaimana suatu prompt disusun, sehingga peserta memahami logikanya dan bisa mengembangkan pemikiran yang lebih kritis.

Pendekatan ini bukan hanya mempercepat proses belajar, tetapi juga menjadikan AI sebagai alat bantu berpikir yang lebih strategis. Dengan MarkPlus AI, pelatihan tidak lagi sekadar tentang menghafal materi, melainkan memahami struktur berpikir di balik penggunaan AI itu sendiri.

Apakah ini berarti ada shifting budaya di organisasinya Mark Plus dan customer-customer MarkPlus?

Ya, memang terjadi shifting budaya yang cukup signifikan, baik di internal organisasi MarkPlus maupun di kalangan kliennya. Dulu, proses pembuatan produk pelatihan sangat bergantung pada riset manual—tim harus mencari referensi dari berbagai website, membaca buku, dan menyusun semuanya secara manual hingga akhirnya terbentuk satu produk pelatihan. Kini, proses tersebut sudah banyak berubah berkat bantuan teknologi AI.

Dengan adanya deep research dari AI, pembuatan rencana pelatihan bisa dilakukan jauh lebih cepat. Misalnya, jika dibutuhkan rencana pelatihan untuk tiga hari, AI bisa langsung menyusun kerangka dasarnya secara otomatis. Tim hanya perlu melengkapi dan menyesuaikan dengan materi-materi spesifik yang dianggap lebih relevan atau berkualitas. Hal ini mengubah budaya kerja dari yang sebelumnya sangat berbasis manual menjadi lebih strategis, efisien, dan berbasis kurasi.

Selain itu, MarkPlus juga menjalin kerja sama dengan Soca AI, sebuah pengembang teknologi AI lokal dari Bandung yang menggunakan pendekatan small data. Dengan pendekatan ini, materi-materi internal MarkPlus bisa dimasukkan langsung ke dalam sistem, sehingga ketika pengguna mengajukan pertanyaan yang spesifik seputar materi MarkPlus, jawaban yang keluar benar-benar relevan dan sesuai. Meski begitu, tantangan tetap ada—karena small data, AI ini kurang fleksibel saat dihadapkan dengan pertanyaan di luar konteks.

Sebaliknya, jika menggunakan large data, informasi internal MarkPlus bisa tenggelam oleh data publik yang terlalu luas. Oleh karena itu, MarkPlus mulai mempertimbangkan pendekatan middle data, sebagai jalan tengah untuk menciptakan AI yang cerdas namun tetap relevan dan terkustomisasi. Inilah bentuk nyata pergeseran budaya yang bukan hanya soal cara kerja, tetapi juga cara berpikir dan membangun solusi di era digital ini.

Secara kuantitatif dan kualitatif, hasilnya masih terukur kah dengan pendekatan AI yang tadi sudah dilakukan itu?

Secara umum, hasil dari penerapan AI di MarkPlus masih terukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dari sisi kualitatif, terlihat peningkatan signifikan dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan. Misalnya, jika sebelumnya hasil tulisan sering kali mengandung typo, kalimat yang tidak efektif, atau kesalahan tata bahasa, kini dengan bantuan AI hal-hal tersebut dapat diminimalisir. Tulisan menjadi lebih rapi, efektif, dan bebas dari kesalahan penulisan, termasuk dalam penggunaan bahasa Inggris yang kini semakin baik dan grammatically correct.

Sementara dari sisi kuantitatif, meskipun jumlah output secara total kurang lebih tetap sama, namun ada peningkatan dalam hal efisiensi. Tim kini dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dalam waktu yang sama, berkat proses yang terbantu oleh AI. Jadi, meskipun tidak selalu terlihat dari angka-angka besar, dampaknya terasa nyata dalam peningkatan kecepatan kerja dan kualitas hasil yang lebih tinggi.

Bagaimana respon dari klien, Kustomer, dan internal tim MarkPlus itu sendiri terkait dengan penerapan AI workflow ini?

Respon terhadap penerapan AI workflow di Klien dan Pelanggan MarkPlus sangat bergantung pada generasi pengguna. Dari generasi yang lebih senior cenderung kurang antusias atau bahkan skeptis terhadap AI, karena mereka sudah memiliki staf yang mengerjakan tugas-tugas administratif atau teknis. Beberapa bahkan mempertanyakan kegunaan AI, karena merasa sekretaris mereka bisa bekerja lebih cepat daripada AI, dan muncul juga kekhawatiran tentang legalitas konten AI seperti musik atau gambar.

Sebaliknya, tim yang lebih muda sangat terbantu oleh AI. Mereka melihat AI sebagai "intern digital" yang bisa diajak kerja bareng untuk menyusun, menyempurnakan, atau mempercepat proses kerja mereka. Sementara itu, di level manajerial atau middle management, AI berperan sebagai co-thinker—membantu dalam berpikir strategis, menyusun outline, dan merancang ide yang kemudian dieksekusi oleh tim. Model ini sejalan dengan konsep yang juga diusung oleh Harvard, yaitu penggunaan AI sebagai co-thinker dan co-pilot tergantung level dan peran pengguna.

Secara keseluruhan, AI diterima positif terutama oleh generasi yang lebih muda dan middle management, karena memberikan dukungan nyata dalam mempercepat dan meningkatkan kualitas kerja.

Apakah edukasi penerapan AI di bisnis klien-kliennya MarkPlus lebih mudah dan effortless?

Edukasi penerapan AI di kalangan klien MarkPlus belum bisa dikatakan mudah dan effortless. Salah satu tantangan utama adalah kesalahan persepsi—banyak yang masih menganggap AI sebagai alat pemberi jawaban instan, bukan sebagai partner berpikir. Dalam sesi pelatihan, pertanyaan yang sering muncul justru soal prompting karena ekspektasinya adalah hasil langsung, bukan proses eksplorasi. Ini menunjukkan bahwa mindset pengguna masih belum berkembang ke arah pemanfaatan strategis AI.

Selain itu, tantangan juga terlihat dalam konteks akademik, khususnya di kalangan mahasiswa. Karena kurangnya pendampingan, mahasiswa cenderung menggunakan AI humanizer untuk menghindari deteksi AI, namun justru menghasilkan tulisan yang tidak sesuai dengan kaidah akademik. Tulisan menjadi terlalu informal dan pada akhirnya menurunkan kualitas penilaian dari dosen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa edukasi AI masih memerlukan pendekatan yang serius, terutama dalam membentuk pola pikir yang tepat dan membimbing pengguna agar memanfaatkan AI secara bijak dan efektif.

Apakah itu berarti ada degradasi dalam critical thinking?

Ya, hal tersebut mengindikasikan adanya degradasi dalam kemampuan critical thinking. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah semakin sulitnya membuat soal atau tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh AI, yang pada akhirnya membuat pengguna—terutama pelajar dan mahasiswa—terlalu bergantung pada teknologi ini. Dalam evaluasi internal, misalnya, ditemukan bahwa sekitar 80% jawaban peserta ujian merupakan hasil salinan langsung dari AI, dengan hanya sedikit modifikasi dari sisanya. Kondisi ini menunjukkan adanya penurunan dalam proses berpikir mandiri dan analitis, karena pengguna cenderung mengandalkan AI sebagai solusi instan ketimbang mengembangkan argumen atau jawaban secara orisinal.

Apa future plan MarkPlus dengan AI?

Rencana jangka panjang MarkPlus dalam pemanfaatan AI adalah mengintegrasikan seluruh hasil riset dan data consulting yang dimiliki ke dalam sistem AI internal. Tujuannya adalah agar ketika ada pihak eksternal—seperti perusahaan Honda, misalnya—menanyakan perkembangan industrinya selama lima tahun terakhir, sistem AI MarkPlus dapat langsung menampilkan data yang bersumber dari riset eksklusif MarkPlus, bukan hanya data generik seperti yang disediakan oleh AI publik seperti ChatGPT. Dengan pendekatan ini, AI MarkPlus nantinya tidak hanya bisa membantu membuat marketing plan atau materi presentasi, tapi juga akan menghasilkan output berbasis teori dan pendekatan khas MarkPlus. Hal ini diharapkan dapat menjadi pembeda utama dibanding AI lain seperti SuperAI atau platform pembelajaran generik lainnya. MarkPlus ingin memposisikan AI-nya sebagai “teman berpikir” yang mendampingi para profesional dalam bekerja, bukan sekadar alat bantu tugas seperti yang umum digunakan oleh mahasiswa.

Apa nasihat yang bisa dibagikan kepada mereka yang baru memulai menerapkan AI?

Nasihat utama bagi mereka yang baru mulai menerapkan AI adalah untuk tidak menganggap AI sebagai pemberi jawaban, tetapi sebagai teman berpikir atau co-thinker. Jika AI hanya digunakan untuk mencari jawaban, maka kemampuan critical thinking seseorang bisa menurun seiring waktu, karena mereka menjadi pasif dalam proses berpikir dan tidak lagi mempertanyakan kebenaran dari jawaban yang diterima. Dengan menganggap AI sebagai partner dalam berpikir, pengguna justru bisa menambahkan wisdom dan insight mereka sendiri, sehingga hasil akhirnya lebih bernilai dan berbeda dari mereka yang hanya bergantung pada AI.

Di sektor industri pendidikan, perubahan pola pikir ini juga penting. Para pengajar—guru, dosen, maupun profesor—harus mulai melakukan transformasi peran. Di era AI, kebanggaan karena pengalaman panjang atau gelar akademik saja tidak cukup, karena dari sisi keilmuan, AI bisa saja sudah lebih unggul dalam hal kecepatan dan kelengkapan data. Maka dari itu, peran pengajar harus bergeser menjadi fasilitator atau coach yang mampu menantang pemikiran muridnya. Contohnya, jika siswa menggunakan AI untuk menjawab sebuah soal, pengajar perlu mendorong mereka untuk mengembangkan lebih jauh, memperdalam argumen, atau menambahkan dimensi baru dari tugas tersebut. Dengan cara ini, proses belajar tidak berhenti di jawaban, tapi berkembang menjadi proses berpikir yang lebih dalam dan bermakna.

Bawa Pengalaman ChatGPT Kustom Terbaik untuk Tim atau Komunitas Anda

MAIA © 2024. PT Mayar Kernel Supernova

Bahasa Indonesia

Bawa Pengalaman ChatGPT Kustom Terbaik untuk Tim atau Komunitas Anda

© 2024 - MAIA.ID

Bahasa Indonesia

Bawa Pengalaman ChatGPT Kustom Terbaik untuk Tim atau Komunitas Anda

© 2024 - MAIA.ID

Bahasa Indonesia